Sejarah Bob Marley
Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan Soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston. The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Pada bulan April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I (Raja Ethiopia) ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailers, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas McIntosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui Reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para Nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan Reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.
Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One love! One heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One love!);
Hear the children cryin (One heart!)
(One Love / People Get Ready)
Dreadlocks
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena Reggae. Saat ini dreadlocks selalu diidentikkan dengan musik Reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik Reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang Fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat di mana musik Reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik Reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlocks dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlocks yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlocks pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlocks yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlocks tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
Musik Jamaika Pendahulu
Menurut sejarah Jamaika, budak yang membawa drum dari Afrika disebut “Burru” yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut “talking drums” (drum yang bicara) yang asli dari Afrika Barat. “Jonkanoo” adalah musik budaya campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum, rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. Acara ini muncul saat Natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka berkomunikasi dengan drum dan conch itu.
Tahun berikutnya, Calypso dari Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan ke orang-orang Jamaika untuk membentuk sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento sendiri adalah musik sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker, scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada tahun 20an hingga 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati sajian turisme.
Ska yang sudah muncul pada tahun 40an - 50an sebenarnya disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing, Rythym & Blues dari Amerika. Ska sebenarnya adalah suara big band dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat “bop”. Ska kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian “skankin” pada awal 60an. Bintang Jamaika awal antara lain Byron Lee and The Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai pencipta Ska. Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya pada pertengahan 60an memunculkan Rock Steady yang punya tune bass berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan menjadi musik Dance Jamaika pertama di 60an.
Reggae dan Rasta
Bob Marley tentunya adalah bintang musik “dunia ketiga” pertama yang jadi penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan Reggae lebih universal. Meskipun demikian, Reggae dianggap banyak orang sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley. Ditambah lagi dengan hadirnya “The Harder They Come” pada tahun 1973, Reggae tambah dikenal banyak orang. Meninggalnya Bob Marley kemudian memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. Rasta adalah jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley untuk menyebarkan Rasta ke seluruh dunia.
Musik yang luar biasa ini tumbuh dari Ska yang menjadi elemen style American R&B dan Carribean. Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh Folk music, musik gereja Pocomania, Band Jonkanoo, upacara-upacara petani, lagu kerja tanam, dan bentuk Mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan-pertemuan Rasta, menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater: contoh ada di Mystic Revelation of Rastafari). Akar Reggae sendiri selalu menyelami tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah Jamaika merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai kejadian monumental pun terjadi seiring perkembangan ini.
Reggae
Bukan asli Jamaika
Reggae memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, Ska berasal berasal dari New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio Amerika lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan gitar pas-pasan dan putus-putus adalah interprestasi mereka akan R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. Selanjutnya semasa musim panas yang terik, mereka pun kepanasan kalau musti memainkan Ska plus tariannya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae.
Sejak itu, Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan musik Rock (sekarang). Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja atau rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae bukan cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.
It’s influences
Saat rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua dekade. Hits – hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees. Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari dunia tersendiri. Budaya ‘Dancehall’ Jamaika yang menonjol plus sound system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.
Sumber
Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan Soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston. The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Pada bulan April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I (Raja Ethiopia) ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailers, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas McIntosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui Reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para Nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan Reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.
Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One love! One heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One love!);
Hear the children cryin (One heart!)
(One Love / People Get Ready)
Dreadlocks
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena Reggae. Saat ini dreadlocks selalu diidentikkan dengan musik Reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik Reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang Fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat di mana musik Reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik Reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlocks dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlocks yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlocks pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlocks yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlocks tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
Musik Jamaika Pendahulu
Menurut sejarah Jamaika, budak yang membawa drum dari Afrika disebut “Burru” yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut “talking drums” (drum yang bicara) yang asli dari Afrika Barat. “Jonkanoo” adalah musik budaya campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum, rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. Acara ini muncul saat Natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka berkomunikasi dengan drum dan conch itu.
Tahun berikutnya, Calypso dari Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan ke orang-orang Jamaika untuk membentuk sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento sendiri adalah musik sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker, scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada tahun 20an hingga 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati sajian turisme.
Ska yang sudah muncul pada tahun 40an - 50an sebenarnya disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing, Rythym & Blues dari Amerika. Ska sebenarnya adalah suara big band dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat “bop”. Ska kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian “skankin” pada awal 60an. Bintang Jamaika awal antara lain Byron Lee and The Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai pencipta Ska. Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya pada pertengahan 60an memunculkan Rock Steady yang punya tune bass berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan menjadi musik Dance Jamaika pertama di 60an.
Reggae dan Rasta
Bob Marley tentunya adalah bintang musik “dunia ketiga” pertama yang jadi penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan Reggae lebih universal. Meskipun demikian, Reggae dianggap banyak orang sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley. Ditambah lagi dengan hadirnya “The Harder They Come” pada tahun 1973, Reggae tambah dikenal banyak orang. Meninggalnya Bob Marley kemudian memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. Rasta adalah jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley untuk menyebarkan Rasta ke seluruh dunia.
Musik yang luar biasa ini tumbuh dari Ska yang menjadi elemen style American R&B dan Carribean. Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh Folk music, musik gereja Pocomania, Band Jonkanoo, upacara-upacara petani, lagu kerja tanam, dan bentuk Mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan-pertemuan Rasta, menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater: contoh ada di Mystic Revelation of Rastafari). Akar Reggae sendiri selalu menyelami tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah Jamaika merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai kejadian monumental pun terjadi seiring perkembangan ini.
Reggae
Reggae sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan Blues serta Folk (lagu rakyat) Jamaika. Gaya sintesis ini jelas menunjukkan keaslian Jamaika dan memasukkan ketukan putus-putus tersendiri, strumming gitar ke arah atas, pola vokal yang "berkotbah" dan lirik yang masih seputar tradisi religius Rastafari. Meski banyak keuntungan komersial yang sudah didapat dari Reggae, Babylon (Jamaika), pemerintah yang ketat seringkali dianggap membatasi gerak namun bukan aspek politis Rastafarinya.
“Reg-ay” bisa dibilang muncul dari anggapan bahwa Reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik Soul Amerika namun dengan ritem yang "dibalik" dan jalinan bass yang menonjol. Tema yang diangkat memang sering sekitar Rastafari, protes politik, dan rudie (pahlawan Hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (Ska & Rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika-Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi "lubang-lubang" iringan yang kosong serta drum yang kompleks. Di Reggae kontemporer, permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.
“Reg-ay” bisa dibilang muncul dari anggapan bahwa Reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik Soul Amerika namun dengan ritem yang "dibalik" dan jalinan bass yang menonjol. Tema yang diangkat memang sering sekitar Rastafari, protes politik, dan rudie (pahlawan Hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (Ska & Rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika-Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi "lubang-lubang" iringan yang kosong serta drum yang kompleks. Di Reggae kontemporer, permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.
Bukan asli Jamaika
Reggae memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, Ska berasal berasal dari New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio Amerika lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan gitar pas-pasan dan putus-putus adalah interprestasi mereka akan R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. Selanjutnya semasa musim panas yang terik, mereka pun kepanasan kalau musti memainkan Ska plus tariannya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae.
Sejak itu, Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan musik Rock (sekarang). Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja atau rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae bukan cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.
It’s influences
Saat rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua dekade. Hits – hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees. Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari dunia tersendiri. Budaya ‘Dancehall’ Jamaika yang menonjol plus sound system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar