Kamis, 06 Desember 2012

Sejarah Perkembangan Komik Modern

Soft Power Domestik

Dua seniman Muslim asal Amerika Serikat (AS), Adil Imtiaz dan Kamil Imtiaz, sejak Januari 2011 menerbitkan serial cerita buku komik tentang Buraaq, tokoh pahlawan super Muslim. Di artikel Republika.co.id “Buraaq, Superhero Muslim Si Pembawa Pesan Perdamaian”, dituliskan bahwa melalui serial Buraaq, Adil Imtiaz dan Kamil Imtiaz ingin menyampaikan pesan damai tentang Islam kepada masyarakat AS dan buku komik dianggap sebagai wadah yang cukup tepat untuk menghindari kesan kaku serta dapat menjangkau semua kalangan. Sebenarnya sejak tahun 1940, buku komik di AS sudah dipergunakan untuk menyampaikan pesan sosial dari sang seniman kepada pembaca.



Sebelum AS menyatakan diri menjadi bagian dari kekuatan Sekutu di Perang Dunia II, yaitu setelah penyerangan Pearl Harbour di tanggal 7 Desember 1941, tokoh pahlawan super mereka sudah terlebih dahulu melawan Nazi dalam cerita buku komik. Di tahun 1940, Timely Publications, cikal bakal Marvel Comics, merupakan salah satu penerbit buku komik pertama yang menggambarkan Nazi sebagai musuh dari tokoh buku komiknya. Pada tahun tersebut, Timely Publications menerbitkan beberapa cerita yang di dalamnya tokoh pahlawan super Sub-Mariner melawan Nazi di laut agar kapal-kapal laut milik Inggris dan AS dapat melintas dengan aman. Begitu juga dengan Captain America yang diterbitkan Timely Publications, di sampul edisi perdananya pada bulan Maret 1941 digambar memukul Hitler. 

Memasuki periode awal 1950-an, sebelum peristiwa bersejarah Montgomery Bus Boycott yang dilakukan oleh Rosa Parks pada tahun 1955 untuk menentang perlakuan segregasi ras di AS, sebuah penerbit buku komik dengan nama EC (Entertaining Comics) sudah menerbitkan cerita yang mengkritik segregasi ras. Selama periode 1950-an, EC terus menerbitkan beberapa serial buku komik yang mengkritik norma-norma masyarakat AS pada masa itu. Ini sudah mereka lakukan sebelum counter culture menjadi populer dan salah satu ciri khas sejarah AS pada periode 1960-an dan 1970-an.

Pada tahun 1966, National Periodical Publications, cikal bakal DC Comics, turut menerbitkan sebuah cerita tentang masalah perbedaan ras. Justice League of America diceritakan membantu menyelesaikan tiga masalah yang terkait dengan SARA. Di akhir cerita, Hawkman, salah satu tokoh pahlawan super, ditulis mengatakan bahwa manusia harus dapat memahami dan menerima perbedaan ras, kepercayaan, dan kebudayaan agar tercapai kedamaian. 

Pemerintah AS pun tampaknya mengakui kemampuan buku komik untuk mempengaruhi pemikiran pembaca. Pada tahun 1971, Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan AS meminta bantuan Marvel Comics untuk terlibat dalam kampanye melawan obat terlarang yang menjadi masalah sosial yang mengkhawatirkan di masa itu. Hasilnya adalah tiga cerita Spider-Man di bulan Mei hingga Juli 1971 yang menggambarkan penggunaan obat terlarang sebagai perilaku yang berbahaya bagi seseorang. 

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana para seniman buku komik menyampaikan pesan sosial secara jelas kepada pembaca. Namun di periode 1960-an, seniman-seniman tersebut turut menyampaikan pesan sosial secara tersirat. Bahkan bentuk cerita seperti ini menjadi efektif membuat pembaca mengidolakan para tokoh pahlawan super dalam kehidupan mereka. Pada tahun 1965, sebuah penelitian menunjukkan bahwa pelajar yang radikal di AS mensejajarkan Spider-Man dan Hulk, dengan Bob Dylan dan Che Guevara, sebagai lambang pergerakan revolusioner (Wright, 2001).

Industri Baru

Spider-Man adalah cerita pahlawan super yang walaupun sudah membantu banyak orang tapi tetap dianggap sebagai musuh masyarakat. Hulk adalah cerita seorang ilmuwan yang karena kecelakaan sinar Gamma menjadi sosok yang ditakuti dan diburu oleh para aparat militer. Bagi anak muda AS di periode awal 1960-an, Spider-Man dan Hulk seakan mewakili keberadaan mereka dalam masyarakat. Mereka merasa apa yang mereka perjuangkan adalah untuk kebaikan AS tapi mereka malah dipandang sebagai musuh oleh pemerintah. Apalagi saat banyak demonstrasi anti perang di AS, para pemuda harus berhadapan dengan para tentara.

 

Memang terlalu jauh untuk menyimpulkan bahwa buku komik menjadi wadah utama yang mengubah cara berpikir masyarakat AS. Namun melihat data sejarah di atas maka bukan tidak mungkin medium buku komik di AS bisa turut berperan dalam mempengaruhi pola pandang masyarakat dengan cara-cara yang tidak melibatkan kekerasan. Ini serupa dengan konsep soft power yang diutarakan Joseph Nye dalam ilmu hubungan internasional, namun sifatnya adalah domestik atau dalam negeri. 

Lalu apakah buku komik di Indonesia bisa dijadikan sebuah bentuk soft power domestik? Tentu harus dilihat perbedaan anggapan masyarakat AS dengan Indonesia terhadap buku komik. Buku komik di AS pada tahun 1950-an sudah menjadi sebuah industri yang menjangkau banyak orang. Sebuah data menunjukkan bahwa pada tahun 1953, diperkirakan keuntungan keseluruhan penjualan buku komik mencapai USD90 juta dan ada sekitar 650 judul yang diterbitkan oleh para penebit mereka (Wright, 2001). Walaupun dua tahun kemudian sempat mengalami penurunan drastis akibat tekanan para orang tua yang menganggap buku komik memberi pengaruh buruk kepada anak-anak mereka, sebelum kembali meningkat kepopulerannya di periode 1960-an. 

Bahkan lebih dari sekedar angka, masyarakat AS menganggap buku komik sebagai salah satu wujud budaya populer mereka. Saat ini bisa kita lihat cerita-cerita buku komik diangkat menjadi film layar lebar dan beberapa mendulang sukses. Bandingkan kemudian dengan Indonesia yang saat ini lebih banyak menerbitkan buku komik terjemahan dari Jepang dan beberapa dari AS serta Eropa. Saat Indonesia masih lebih fokus menerjemahkan buku komik asing maka tentu kita tidak bisa memasukkan pesan sosial yang ingin disampaikan ke pembaca. Salah satu harapan buku komik sebagai soft power domestik di Indonesia ada pada “Benny & Mice” walaupun lebih berbentuk komik baris (comic strip) dan masih dalam ruang lingkup terbatas. 

Sekarang ini tampaknya kita perlu mencari wujud lain dari budaya populer Indonesia yang bisa menjadi soft power domestik. Sebelum buku komik produksi dalam negeri menjadi dominan di pasar Indonesia maka sulit mengharap buku komik menjadi soft power domestik di negeri ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topi dan Kaos Custom

Entri Populer