Sabtu, 18 Agustus 2012

Salah Kaprah Pengartian Idul Fitri dan Minal Aidin wal Faizin

Selama ini banyak di antara kita yang salah kaprah dalam memaknai frase "Idul Fitri". Kata "ied" diartikan "kembali" dan kata "fitri" dianggap berasal dari kata "fithroh" (dengan ha marbuthoh) yang artinya "asal" atau "suci" atau "bersih". Jadi kata "Idul Fitri" diartikan "kembali ke asal kita yang bersih atau suci". Argumentasi fiqihnya, karena orang yang bershaum oleh Allah dijanjikan akan diampuni seluruh dosa-dosanya. Sehingga pada tanggal 1 Syawal tersebut, dia ibarat bayi yang suci dari noda dan dosa.



Pemahaman yang semacam itu kurang tepat secara etimologi. Kata "Fitri" pada "Iedul Fitri" bukan berasal dari kata "fithroh" tetapi dari kata "fithr" (fathoro-yafthuru-ifthor) yang artinya "berbuka". Jadi frasa "Idul Fitri" artinya "kembali berbuka". Maksudnya, orang yang tadinya bershaum diperbolehkan kembali melakukan makan-minum di pagi maupun siang hari pada tanggal 1 Syawal tersebut atau tanda bahwa Bulan Ramadhan telah berakhir.

Karena salah satu sifat bahasa manasuka, kedua pemaknaan tersebut tentu saja sah dan boleh-boleh saja. Walaupun demikian, kalau direnungkan lebih dalam pemaknaan Idul Fitri versi pertama tersebut (kembali menjadi manusia yang suci) sesungguhnya sangat berat dan spekulatif. Betulkah shaum Ramadhan yang kita lakukan selama satu Bulan tersebut diterima oleh Allah SWT, sehingga menghapus dosa-dosa kita dan mengantarkan kita menjadi manusia-manusia yang suci laksana bayi yang baru lahir? Padahal Rasulullah SAW menengarai melalui sabdanya, bahwa sungguh betapa banyak orang yang bershaum -tetapi karena tidak dilakukan dengan keimanan dan perhitungan (ikhtisaban)- maka yang bakal dia peroleh hanyalah rasa lapar dan dahaga saja. Jadi persoalan diterima tidaknya amalan shaum Ramadhan seorang hamba benar-benar hanya Allah saja yang mengetahuinya.

Atas dasar karena shaum Ramadhan seseorang belum tentu diterima oleh Allah inilah, maka ucapan tahniah atau ucapan selamat yang diajarkan oleh Rasulullah saat antar sesama muslim bersua di hari Iedul Fitri yakni "Taqobalallahu minna waminka / waminkum, waja’alana minal aidin wal faizin”, yang artinya “Semoga Allah menerima amaliyah saya dan amaliyah anda / kalian, dengan demikian kita akan menjadi orang yang kembali (kepada agama) dan memperoleh kemenangan”.

Sedangkan pada kebanyakan masyarakat kita tahniah Iedul Fitri, "minal aidin wal faizin" diartikan "mohon maaf lahir dan batin". Selain penerjemahan seperti ini jelas ngawur, frasa “mohon maaf lahir dan batin’ juga secara semantik sesungguhnya kabur. Apakah maaf lahir itu? Kata "lahir" dalam bahasa Indonesia ini dipungut dari bahasa Arab "al-dhohiru" yang artinya tampak wujudnya. Sedangkan kata "batin" berasal dari kata "al-bathinu", yang arttinya tidak tampak wujudnya. Jadi jika merunut arti semantiknya pernyataan ‘mohon maaf lahir dan batin’ berarti mohon maaf atas kesalahan yang tampak maupun yang tidak tampak. Benarkah demikian? Bukankah akan lebih pas jika kita memohon maaf itu atas kesalahan-kesalahan yang disengaja atau yang mungkin tidak disengaja? Ini lebih manusiawi sekaligus rasional.

Menurut saya boleh jadi akibat pemahaman-pemahaman yang kurang tepat inilah sesungguhnya pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dan sekitarnya dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua, yakni "kembali berbuka" mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal seperti sekarang ini.

Perhatikan penulisan "Minal ‘Aidin wal Faizin" berikut ini:
  1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar berdasarkan penulisan kaidah fonologis.
  2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasarkan EYD.
  3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad Arab.
  4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”.
  5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”.
Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena kesalahan penulisan abjad juga berarti berimplikasi pada pemaknaan yang juga bisa salah. Seperti dalam Bahasa Inggris, antara "Look" dan "Lock" beda maknanya bukan? Padahal perbedaanya disebabkan oleh salah satu huruf saja.

Dan alangkah baiknya do'a di atas diucapkan secara utuh, tidak terpotong, bukan sekedar "Minal ‘Aidin wal Faizin".

Wallahu a’lam.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topi dan Kaos Custom

Entri Populer